SENI DAN BUDAYA JAWA.

Malam Satu Suro, Malam Sakral Beribu Makna

Setiap malam 1 Suro area Alun-alun Utara, Yogyakarta pasti ramai para peserta yang bersiap untuk memulai sebuah laku spiritual yang dikenal dengan sebutan Laku Mbisu Mubeng Beteng (berjalan mengelilingi pojok beteng tanpa berbicara). Pria-wanita, Tua-muda semua berkumpul dan berjalan bersama memadati berbagai ruas jalan. Sudah sejak lama ritual budaya ini berlangsung di tanah jawa dimana pada saat malam 1 Suro tiba berbagai masyarakat Jawa bersama berkumpul menjalani laku bisu atau bersemedi di sebuah tempat yang dinilai sakral dan jauh dari hiruk pikuk manusia.
Lelaku malam satu Suro dimulai tepat pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Kasulatanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kraton Kasunanan Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Menilik lebih dalam ritual malam satu Suro di Kraton Yogyakarta diawali dengan mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan lampah mbisu ini, tidak diperkenankan untuk berbicara layaknya orang bertapa.

Mitos Mistis dan Filosofis

Unsur mistis masih melekat di benak sebagian masyarakat umum mengenai ritual budaya ini. Betapa tidak, mengingat pada masa dahulu menjelang tibanya satu Suro, masyarakat Jawa berbondong – bondong melakukan berbagai ritual seperti bertapa di puncak Gunung Merapi, menabur bunga di bibir Pantai Parangtritis, ziarah dan lek-lekan (tidak tidur) semalaman di kuburan leluhur, dan sebagainya.
Suronan Mubeng Beteng Kraton Yogyakarta 01.jpg Malam Satu Suro, Malam Sakral Beribu Makna
Filosofi ritual lampah mbisu ini sendiri memiliki makna agar kita dapat mensyukuri hidup serta merenung untuk introspeksi diri dan memohon ampun pada Allah atas segala dosa dan kekhilafan yang telah dilakukan. Selain itu, momentum perayaan malam satu Suro ini juga dimanfaatkan oleh para abdi dhalem Kraton Yogyakarta untuk memohon ketentraman duniawi serta kejelasan nasib wilayah ini atas kejelasan keputusan RUUK DIY dari pemerintah pusat.
Agaknya, banyak cara untuk berdoa memohon dan mensyukuri nikmat pemberian dari Yang Maha Esa. Namun dari banyak cara tersebut, kita tetap harus berpegang teguh pada tuntunan agama dan kepercayaan masing – masing agar tak tercipta kesalah pahaman sosial dan religi atas suatu ritual budaya yang bersifat sangat sakral dan luas seperti ritual budaya lampah mbisu mubeng beteng ini.
Sebagai salah satu kerabat Kraton, Gusti Joyo (sapaan akrab GBPH. Joyokusumo) menjelaskan bahwa laku budaya ini sudah sejak lama dilakukan oleh para abdi dhalem yang pastinya direstui oleh Ngarsa Dhalem (Sri Sultan HB X) dan seluruh kerabat lainnya. “Sebetulnya, dalam budaya Jawa itu ada tiga laku yang perlu dipahami. Tentu saja bersyukur atas nikmat hidup. Kemudian tafakkur, yakni introspeksi diri, mawas diri. Dan yang terakhir adalah senantiasa memohon bimbingan kepada Illahi agar laku kehidupan kita tetap terarah dan benar dengan berdzikir pada Allah”, ungkap beliau.
Beliau tak menampik jika ada sebagian kalangan masyarakat menilai ritual seperti ini adalah musyrik. Dalam pandangannya, ritual seperti ini perlu diuri–uri dan dijaga kelestariaanya karena filosfi yang terkandung di dalamnya merupakan implementasi dari ajaran agama Islam. “Perlu kecermatan dalam memahami suatu ritual budaya. Mereka berkata seperti itu karena tidak memahami makna sesungguhnya”, tambah Gusti Joyo.
Text : Reza Fitriyanto
Foto : Reza Fitriyanto & Benedictus Oktaviantoro
Sumber Informasi :http://www.traveltamagz.com/suronan-mubeng-beteng-yogyakarta